ANALISIS POLA CERAMAH DHAMMACAKKAPPAVATTANA SUTTA DAN METTA BHAVANA BAGI UMAT BUDDHA MELALUI SHARING DHAMMA OLEH PANDITA (DHARMADUTA) DI KOTA TANGERANG
Tetapi, walaupn penulis mengetahui kombinasi dari pemahaman khotbah Dhammacakkappavattana Sutta dan Metta Bhavana merupakan kombinasi yang selaras, akan tetapi masih ada beberapa hambatan didalam penerapannya. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal/faktor, sebagai berikut:
Masih adanya pola pikir merasa alirannya paling benar dalam menyikapi perbedaan ajaran keagamaan didalam Buddha Dhamma.
Penyampaian materi atas khotbat Dhammacakkappavattana Sutta yang masih belum dikuasai dengan baik oleh Pandita (Dharmaduta) dalam Dhammadesana tersebut.
Pandita (Dharmadutta) menyampaikan materi Dhammacakkappavattana Sutta dengan tidak menggunakan bahasa yang lugas sehingga membuat audience/umat yang mendengarkannya menjadi bingung atau bahkan pusing dengan materi tersebut.
Pandita (Dharmadutta) tersebut menyampaikannya khotbah Dhammacakkappavattana Sutta dengan hasil pemahaman sendiri dengan tidak mengacu kepada literatur secara mendalam yang dapat dikaitkan dengan Sutta-Sutta lainnya untuk memperjelas makna dari Dhammacakkappavattana Sutta.
Menyampaikan keterkaitan yang mendalam antara hubungan Dhammacakkappavattana Sutta dengan pelaksanaan Metta Bhavana yang mampu berkolaborasi secara istimewa untuk meningkatkan ketenang bathin didalam mencerapai makna otentik dari Dhammacakkappavatta Sutta tersebut.
Pandita (Dharmaduta) yang ber-Dhammadesana masih belum memahami secara mendalam untuk mencerapi makna otentik dari Dhammacakkappavattana Sutta dan masih belum secara masiv menerapkan pelatihan Metta Bhavana tersebut.
Padita (Dharmaduta) yang ber-Dhammadesana masih belum diberikan bekal yang cukup secara penguasaan materi, baik secara controlling dari masing-masing Majelis maupun non Majelis sehingga tidak sesuai dengan hasil capaian yang diharapkan untuk umat Vihara, Cetiya, Klenteng/Bio maupun Tempat Ibadah Tri Dharma.
Keterbatasan dari para umat Buddha yang masih memiliki rasa sungkan untuk bertanya (pada sesi pertanyaa) untuk mengkaji dan memahami Dhammacakkappavattana Sutta maupun pelatihan Metta Bhavana secara lebih mendalam lagi.
Sikap arogansi dan egoisme yang masih tinggi dan menganggap (terkadang) bahwa Pandita (Dharmaduta) yang membawakan materi Dhammacakkappavattana Sutta dan Metta Bhavana masih dibawah level dalam hal pemahaman umat/audience tersebut.
Adanya stigma yang terjadi dari para petinggi dari aliran tertentu dalam agama Buddha yang menganggap adanya penyimpangan/kesesatan dari aliran agama Buddha tertentu lainnya karena merasa aliran agama Buddha yang mereka yakini tersebut adalah aliran yang paling benar. (munculnya keegoisan).
Adanya larangan dari aliran tertentu dalam agama Buddha yang melarang Pandita (Dharmaduta) untuk ber-Dharmadesana di Vihara, Cetiya, Klenteng/Bio maupun Tempat Ibadah Tri Dharma lainnya yang tidak satau aliran.
Belum adanya keterbukaan dari masing-masing umat yang ingin belajar secara mandiri maupun berkelompok untuk memahami dan mendalami makna otentik dari Dhammacakkappavattana Sutta dan praktek Metta Bhavana untuk lebih meningkatkan kualitas bathin yang lebih kuat. Demikianlah yang menjadi Latar Belakang Penelitian dari penulis didalam mengakat judul penelitian “Analisis Pola Ceramah Dhammacakkappavattana Sutta dan Metta Bhavana Bagi Umat Buddha Melalui Sharing Dhamma Oleh Pandita (Dharmaduta) di Kota Tangerang” untuk dapat berkontribusi didalam memajukan perkembangan, pemahaman dan praktek mengenai pentingnya langkah awal sebagai umat Buddha memahami dan menyelami makna otentik dari Dhammacakkappavattna Sutta dan Meta Bhavana untuk menjadikan bekal “deposito” kamma baik dalam kehidupan berikutnya agar tidak terjerumus kedalam alam Apaya 4.